Thursday, November 5, 2015

latihan access

Wednesday, March 21, 2012

Biodata



Nama : Arie Hardian, S.Si.

Tempat Lahir : Bandung

Tanggal Lahir : 27 Juli 1987

Aktivitas : Peneliti dan Pengajar

Wednesday, March 14, 2012

Elektrolit SOFC

Syarat umum suatu material elektrolit diantaranya adalah: (1) konduktivitas ionik (ion oksida) yang tinggi; (2) konduktivitas elektronik yang rendah; (3) stabilitas kimia yang baik terutama pada lingkungan oksidasi maupun reduksi; (4) sifat mekanik yang baik; dan (5) stabilitas termal yang baik dan sesuai dengan komponen penyusun lainnya seperti katoda maupun anoda [Jacobson, A.J., 2009]. Material yang digunakan sebagai elektrolit untuk SOFC pada dasarnya merupakan material konduktor ion oksida, dimana arus mengalir akibat dari pergerakan ion oksida melalui kisi-kisi kristal. Pergerakan ini merupakan akibat dari loncatan ion oksida yang teraksivasi oleh suhu, bergerak dari satu posisi kisi kristal ke posisi tetangganya. Agar terjadi pergerakan tersebut, kristal harus mengandung posisi-posisi yang tidak terisi yang ekivalen dengan posisi-posisi yang terisi oleh ion oksida. Disamping itu, energi yang terlibat saat proses migrasi ion oksida dari posisi semula ke posisi kekosongan haruslah kecil, umumnya lebih rendah dari 1 eV [Ismunandar, 2006].

Berdasarkan strukturnya, secara umum elektrolit terbagi ke dalam 4 jenis, yakni: (1) elektrolit berstruktur fluorit, sebagai contoh zirkonia (ZnO2) terdoping, ceria (CeO2) terdoping, dan bismut (Bi2O3) terdoping; (2) elektrolit berstruktur perovskit dan struktur lapisan, sebagai contoh turunan dari lantanum galat (LaGaO3), turunan dari Bi4V2O11 atau seringkali disingkat BIMeVOX, dan brownmilerit; (3) elektrolit lantanum molibdenat (La2Mo2O9) atau seringkali disingkat LAMOX; dan (4) elektrolit berstruktur apatit, sebagai contoh silikat (La9.33+x(SiO4)6O2+3x/2) dan germanat (La9.33+x(GeO4)6O2+3x/2) [Jacobson, A.J., 2009]. Gambar di bawah ini memperlihatkan struktur dari masing-masing jenis elektrolit di atas.


Namun, hanya beberapa saja yang saat ini dikembangkan untuk elektrolit SOFC, mengingat sejumlah syarat umum elektrolit yang cocok untuk SOFC. Salah satu syarat elektrolit yang menyebabkan keterbatasan tersebut adalah sifat kecocokan koefisien ekspansi termal elektrolit dengan material elektroda dan material pendukung lainnya serta kereaktifannya baik pada saat proses operasional maupun proses fabrikasi SOFC. Material yang berpotensi untuk digunakan sebagai elektrolit adalah zirkonia dan ceria yang berstruktur fluorit dan LaGaO3 yang berstruktur perovskit.

Dari ketiga sistem elektrolit tersebut yakni zirkonia terstabilkan itria (YSZ), lantanum galat terdoping stronsium dan magnesium (LSGM), dan ceria terdoping gadolinium atau samarium (GDC atau SDC), masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. YSZ memiliki performa konduktivitas yang sangat baik dan memiliki sifat mekanik yang baik pada suhu operasional tinggi. Namun, YSZ sangat reaktif dengan material elektroda yang mengandung ion lantanum dan pada suhu tinggi bereaksi membentuk lapisan La2Zr2O7 yang bersifat resistif. LSGM memiliki konduktivitas ionik yang lebih tinggi dibandingkan dengan YSZ dan lebih cocok dengan katoda berbasis lantanum. Namun di sisi anoda yang merupakan campuran LSGM-NiO, LSGM dengan NiO yang disebabkan oleh reaktivitas dari NiO terhadap LSGM. Ceria terdoping dengan logam tanah jarang memiliki konduktivitas tinggi pada suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan YSZ. Ceria terdoping lebih stabil dibandingkan oksida bismut terdoping tetapi pada kondisi reduksi (pO2 sekitar 1x10-19 atm), Ce4+ tereduksi menjadi Ce3+. Reduksi ini menghasilkan sifat konduktivitas elektronik yang berdampak pada penurunan efisiensi sel [Jacobson, A.J., 2009].

Monday, March 12, 2012

Sel Bahan Bakar Padatan Oksida (SOFC)

Sel bahan bakar oksida pertama kali terpikirkan setelah ditemukannya elektrolit padatan oksida oleh Nerst pada tahun 1899. Pada tahun 1905, Haber mengeluarkan paten mengenai sel bahan bakar dengan suatu elektrolit berupa padatan yakni sejenis gelas dan porslein, sedangkan material elektroda yang digunakan adalah logam platinum dan logam emas. Pada tahun 1916, Baur dan Treadwell mengeluarkan paten mengenai sel bahan bakar dengan oksida logam sebagai elektroda dan padatan keramik dengan lelehan garam diporinya sebagai elektrolit. Tahun 1935, Schottky menyatakan bahwa zirkonia terstabilkan itria (yttria stabilized zirconia, YSZ) dapat digunakan sebagai elektrolit sel bahan bakar padatan. Tahun 1943, Wagner memperkenalkan kehadiran kekosongan (vacancy) pada subkisi anion dalam campuran padatan oksida dan sekaligus menjelaskan mekanisme konduksi yang terjadi pada Nernst Glowers. Wagner memberikan nama untuk material tersebut sebagai konduktor ion oksida. Baur dan Preis berikutnya mendemonstrasikan sel bahan bakar padatan oksida (solid oxide fuel cell, SOFC) dengan menggunakan YSZ sebagai elektrolit dan ternyata sel ini berjalan dengan baik pada suhu 1000oC. Malangnya, suhu operasional yang tinggi menimbulkan masalah yang serius terhadap material penyusunnya. Sejak tahun 1960 hingga kini, sejumlah paten telah dihasilkan berkaitan dengan pengembangan teknologi SOFC [Ormerod, R.M., 2002].

SOFC seperti layaknya fuel cell yang lainnya yaitu terdiri dari tiga komponen utama adalah anoda, elektrolit, dan katoda. Pada anoda terjadi reaksi oksidasi bahan bakar yaitu hidrogen, CO, atau CH4. Elektron yang dilepaskan di anoda kemudian dialirkan melalui sirkuit luar untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik. Elektron tersebut kemudian masuk ke katoda, sehingga di katoda terjadi reaksi reduksi zat oksidan yaitu oksigen. Ion oksida hasi reduksi kemudian mengalir melalui komponen elektrolit untuk bereaksi dengan ion positif atau molekul bahan bakar di anoda untuk menghasilkan air dan/atau CO2. Agar ion oksida dapat bergerak dalam material elektrolit dan reaksi katalitik berlangsung dengan cepat maka dibutuhkan suhu operasional yang sangat tinggi[2,4,5]. Adapun persamaan reaksi dari reaksi – reaksi yang terjadi pada anoda maupun katoda adalah sebagai berikut:

Katoda : ½O2 + 2e- → O2-

Anoda : H2 → 2H+ + 2e- atau

CO + O2- → CO2 + 2e- atau

CH4 + 4O2- → CO2 + 2H2O + 8e-

Namun demikian, penggunaan suhu operasional yang sangat tinggi yaitu di rentang 850-1000oC seringkali menyebabkan degradasi atau reaksi antar komponen dalam SOFC yang mengakibatkan menurunnya tegangan sel dan daya luaran sel[5,6]. Dewasa ini, pengembangan teknologi SOFC lebih difokuskan terhadap pencarian kombinasi baru antara elektoda dan elektrolit sehingga dapat menghasilkan SOFC dengan efisiensi tinggi meskipun suhu operasional berada di rentang suhu intermediet (500 - 650oC), Intermediate Temperature - Solid Oxide Fuel Cell (IT-SOFC).

Menurunkan suhu operasi SOFC memberikan suatu dampak yang signifikan terhadap harga produksi SOFC yaitu dengan penggunaan material yang lebih murah untuk material interkoneksi dan material penukar panas[5]. Suhu rendah juga menyebabkan suatu peningkatan dalam ketahanan sistem SOFC dengan cara mereduksi masalah - masalah yang berhubungan dengan perputaran panas dan degradasi yang disebabkan oleh interdifusi atau reaksi antar komponen itu sendiri. Namun demikian, pengoperasian pada suhu rendah memunculkan beberapa masalah material yang berhubungan dengan peningkatan resistansi elektrolit dan penurunan laju reaksi katalitik (polarisasi elektroda). Kedua faktor tersebut mengakibatkan penurunan tegangan dari sel dan daya luaran dari sel[5].

Tantangan riset saat ini dalam pengembangan IT-SOFC yaitu pencarian kombinasi baru antara elekrolit dan elektroda yang dapat mereduksi masalah peningkatan resistansi elektrolit dan penurunan laju reaksi katalitik. Disamping itu, pencarian material yang menyediakan transport ion cepat dalam elektrolit dan antarmuka elektrolit dengan kedua elektroda serta material yang efisien dalam reaksi elektrokatalisis reduksi oksigen dan oksidasi bahan bakar meskipun suhu operasional berada di rentang intermediet menjadi suatu tantangan tersendiri dari riset di wilayah ini[5,6,7].

Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)

Sel bahan bakar (fuel cell) merupakan suatu piranti elektrokimia yang dapat mengubah energi kimia menjadi energi listrik secara langsung dengan adanya pasokan bahan bakar (hidrogen) dan zat oksidan (oksigen dari udara) yang dipompakan ke dalam sel [Winter, M. dan Brodd, R.J., 2004]. Sel bahan bakar serupa dengan mesin pembakar (combustion engine) yakni memerlukan bahan bakar untuk menjalankannya, namun serupa juga dengan baterai dimana mampu mengubah energi kimia menjadi listrik secara langsung tanpa melalui proses pembakaran. Pengubahan energi secara langsung tersebut yakni tanpa melalui proses pembakaran dapat meningkatkan efisiensi konversi dari sel [Brett, D.J.L., et al, 2008].

Secara umum, sel bahan bakar terdiri dari dua komponen penting yakni elektroda (katoda dan anoda) dan elektrolit. Susunan dari sel bahan bakar mirip halnya dengan roti lapis (sandwich), dimana kedua elektroda mengapit elektrolit yang kemudian bahan bakar dialirkan di atas permukaan anoda, sedangkan oksigen dialirkan di atas permukaan katoda. Bahan bakar yang digunakan untuk sel bahan bakar umumnya adalah gas hidrogen (H2). Adapun beberapa jenis sel bahan bakar yang dapat menggunakan metanol (CH3OH), CO, maupun hidrokarbon seperti metana (CH4).

Hingga saat ini terdapat enam jenis jenis sel bahan bakar yang dibedakan berdasarkan jenis elektrolitnya, yakni: (1) Alkaline Fuel Cell (AFC); (2) Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC); (3) Direct Methanol Fuel Cell (DMFC); (4) Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC); (5) Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC); dan (6) Solid Oxide Fuel Cell (SOFC). Berdasarkan suhu operasionalnya, sel bahan bakar terbagi ke dalam dua jenis yaitu sel bahan bakar suhu rendah yang beroperasi pada suhu di bawah 300
°C dan sel bahan bakar suhu tinggi yang beroperasi pada suhu di atas 300 °C. Gambar di bawah ini merangkum keenam jenis sel bahan bakar tersebut dan juga perbedaannya [Winter, M. dan Brodd, R.J., 2004].

Setiap jenis sel bahan bakar memiliki keunggulan dan kelemahannya, sebagai contoh PEMFC memiliki keunggulan dimana efisiensi yang diperoleh cukup tinggi pada temperatur pengoperasian yang rendah namun PEMFC mudah sekali terkontaminasi oleh pengotor CO dalam bahan bakar. Berbeda halnya dengan SOFC, SOFC dioperasikan pada suhu yang sangat tinggi sehingga menyebabkan SOFC dapat menggunakan sejumlah bahan bakar dari mulai hidrogen hingga hidrokarbon. Suhu yang tinggi pula menyebabkan SOFC mudah mengalami reaksi antarkomponen yang tidak diharapkan yang dapat menurunkan efisiensi dari sel. Namun demikian dari keenam jenis sel bahan bakar hanya dua jenis sel bahan bakar yang menjadi kandidat unggul sebagai teknologi energi alternatif masa depan yaitu SOFC dan PEMFC.